Skip to content

Resto-Cafe-Gallery Warisan Tempo Doeloe

  • by

Sudah sejak Tempoe Doeloe masih di alamat lama, kami doyan dengan Ayam goreng khasnya. Akhirnya setelah beberapa bulan pindah ke jalan Abdullah Lubis, baru weekend lalu bersama rombongan belasan orang (dengan harapan bisa memesan lebih banyak varian menu) kami memutuskan untuk me-review restoran unik ini.

Awalnya kami sempat putar dua kali karena panduan dari GPS Foursquare yang kurang tepat dan penomoran di jalan tersebut agak tricky. Nah buat kamu yang belum pernah ke sana, Tempoe Doeloe tepat berada di seberang Warung Iga-Iga Bakso.

Kami disambut dengan perabotan antik dari kayu yang memang menjadi khas Tempoe Doeloe. Selain lebih luas, nyaman dan bebas nyamuk, resto baru ini juga tidak ‘seseram’ yang lama karena penerangan yang lebih baik.

Soal makanan, bisa dibilang disinilah restoran yang benar-benar menyajikan masakan nusantara yang rasanya ‘authentic’. Variasi menu lebih banyak dari resto lama, dan menu set kini hanya bisa dipesan untuk lunch saja. Yang kami pesan karena rekomendasi teman adalah Ayam Tempoe Doeloe (Rp 62.500/ekor) yang digoreng dengan daun kari, daun pandan dan dedaunan rempah lainnya yang renyah, sop jernih iga sapi Senggang Halimah dari Sumatera Timur yang rasanya surprisingly mild walaupun pedas dari lada hitamnya terasa, dan Anyang Jantung Pisang yang ditumis dengan tauge dan parutan kelapa (dan bagi sebagian besar dari rombongan kami, ini kali pertama mereka menyicipi rasa dan teksturnya yang unik). Rasa dari ketiga menu ini jelas tidak mengecewakan.

Sisanya yang kami pesan dari menu secara random adalah Ikan Penghuni Warisan Tempoe Doeloe yang rasanya masih ‘sekeluarga’ dengan ikan arsik khas Tapanuli, dan Ikan Kakap Warisan Tempoe Doeloe yang dimasak dengan kunyit dan asam. Both are OK, but we’ve tasted better fish dishes somewhere else.

Daging balado juga empuk dan ulekannya pas, tapi sayang porsinya kecil. Dua potong daging tipis ini harganya Rp 18.000 per porsi. Lalu kami juga memesan udang tauco dan bebek bengil (Rp 72.000). Mungkin karena perbandingannya langsung dengan yang di Ubud, rasanya kok daging bebeknya kurang garing dan kurang wangi ya. Untung saja sambalnya paten. Ya, bisa dikatakan segala jenis sambal yang disajikan bersama menu malam itu semuanya membuat lidah kami bergoyang seperti resep rahasia dapur ‘nenek’.

Kami juga memesan dua macam menu kebanggaan Sumatera Utara, teri medan dimasak dengan cabe rawit, disebut Teri Keprok. Dan satunya lagi, yang paling ‘legendaris’ dan rasanya paaaaaliiinnngg enak dari semua menu yang kami pesan malam itu, adalah Teri Sibolga yang ditumis dengan rimbang, pete dan cabe hijau. Pedas-asinnya PAS! Garingnya dan wanginya juga bikin NAGIH!

Walaupun tergolong enak, entah mengapa rombongan kami adalah satu-satunya tamu di Tempoe Doeloe minggu malam itu. Tebakan kami, karena harganya yang lumayan mahal untuk porsinya yang tidak besar itu ya. Total harga yang harus dibayar malam itu mendekati 2 juta rupiah dan jatuh-jatuhnya di nominal Rp 100.000/orang. Well, harapan kami kuliner nusantara ini masih bisa terus diwariskan kepada generasi muda. So, bagi kamu yang merasa masakan Indonesia itu-itu saja, silakan explore sendiri citarasa dari berbagai belahan nusantara di restoran ini ya.

Resto Cafe & Gallery Warisan Tempo Doeloe
Jalan Abdulah Lubis no 48/75
T 061 4153133
F 061 4565164

Artikel ini ditulis oleh Yenny Heriana, Creative Director & Strategic Planner at Lumut Communications. Baca artikel berikut yang juga ditulis olehnya. RM Irian, Binjai.

5 thoughts on “Resto-Cafe-Gallery Warisan Tempo Doeloe”

  1. Pingback: Tempoe Doeloe | www.instagram.com - DataMasuk

  2. enak ini makanannya .. tempatnya jg nyaman, memang agak sepi tp seru jg terbayang2 jaman nenek awak dulu, ud 2x kesini .. dan akan datang lg. kl bingung mw pesan apa, tnya sama ownernya .. dia akan ks rekomendasi makanan apa dgn lauk dan sayur apa … yaaammyyyyy

  3. Sepertinya iya bung Nich, RM Garuda juga sama mahalnya kalo dine in, kecuali take away nasi bungkus itu lbh terjangkau 😛

    Yg paling mahal malam itu memang bebek bengil, karena dipesan 3 porsi. Lho kalo ga makan ama sambal, pake kecap donk? :p

  4. Ini restoran yang dulu di Jalan Wahid Hasyim, bukan?

    Sepertinya pas kategori “mahal” itu ya. Hampir ngalah-ngalahin RM. Garuda, yang sambalnya saja Rp12.000 satu lepekan.

    Terlepas dari urusan dompet; seorang juru masak dari Surabaya emang pernah cerita ke saya, memasak bebek itu, kuncinya di sambal.
    *walau hal tersebut tidak berlaku ke saya, yang gak doyan sambal

Comments are closed.

Discover more from Makanmana

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading