
Tidak berapa lama lalu, kami menghadiri Grand Opening dari sebuah cafe dengan ciri khas Jakarta yang mengusung konsep Belanda-Indonesia di Tijili Square. Awalnya, gue cukup penasaran setelah mengetahui bahwa nama cafenya adalah Warung Koffie Batavia. Alasannya simply karena kata “Warung” identik dengan ciri khas Indonesia, sedangkan “Koffie” dan “Batavia” berasal dari bahasa Belanda. I assume you feel the same too, so let me tell you about our experience there.

Interiornya yang dibuat seperti cafe ala-ala zaman kolonial Belanda dulu memberikan kesan yang hangat dan nyaman. Apalagi dilengkapi dengan lampu yang kekuningan di salah satu sisi ruangan, serta cahaya alami dari luar yang menerangi sisi lainnya. Keseluruhan interiornya memang memberikan sensasi rasa yang menenangkan saat duduk di sana untuk sekedar hangout, relaxing, bekerja atau memang untuk makan makanan berat.



Nggak afdol kalau ke cafe tapi nggak ngomongin soal makanan. Gue pikir menunya bakalan di mix antara makanan Belanda dengan makanan khas Betawi. But, it’s not. Jadi, di bedakan antara makanan Belanda dengan makanan Indonesia, dan sama-sama diberi sedikit sentuhan modern. Empat makanan berat dan satu makanan pendamping pun menjadi pesanan kami. But, sebelum itu kami disajikan dulu beberapa potong Kue Cubit.

Gue pribadi suka dengan tipe-tipe Kue Cubit dari Warung Koffie Batavia yang lebih lembut dan masih terasa topping selai di bagian tengahnya. Meskipun tidak jelas, terlihat ada effort dari WKB untuk membuat bentuk-bentuk yang unik pada kuenya. Seperti bentuk lambang hati, dsb. The taste is nice, tapi gue saranin sebaiknya kamu cicipi saat masih hangat.
Menu-menu makanan berat pun disajikan saat kami masih ngobrol-ngobrol satu sama lain sambil menghabiskan kue cubit yang masih tersisa tadi. Soto Betawi, Nasi Goreng Batavia, Mie Tek-Tek, Martabak Mozarella dengan side dish Bitterballen.



Di sela euforia kami untuk mingle around dengan pecinta kuliner Medan lainnya (yang juga diundang pada Grand Opening WKB), sesuap demi sesuap main course kami dihabiskan.
Dimulai dari Soto Betawi yang lebih duluan kami jajah, yang memberikan kesan soto dengan kuah santan yang lebih ringan, tidak begitu berlemak namun menurut salah satu dari kami rasanya lebih mirip rasa gulai. Sampai ke Mie Tek-Tek yang membuat gue sendiri jatuh cinta. Ada beberapa yang mengatakan rasanya mirip mie yang sering dihidangkan pada acara-acara ulang tahun di kota Medan. Namun rasa mie yang seperti ini yang menurutku nendang di hati.
Begitu pula dengan Martabak Mozarella yang diisi daging sapi yang ternyata generous banget. Nampak dari presentasi Martabaknya yang tebal dengan lumeran keju Mozarella di atasnya. Dengan rasa daging sapi yang menonjol, menu yang ini sukses membuat kami kenyang dan terkulai lemas.


OH ya! Hampir saja kelupaan. Bitterballen, yang gue sebutkan tadi. Baru terlihat olehku saat upload foto Martabak tadi.
Sebelum kami dikenyangkan oleh Martabak tadi, sebenarnya Bitterballen ini yang lebih dulu disajikan, lengkap dengan saus mustard yang cenderung asam. Maklum, ini pertama kalinya gue cobain mustard dan langsung gue putuskan kalau mustard is not for me. But, the bitterballen themselves tasted nice with a lil salty taste from it.


Topik mencapai titik puncaknya ketika kami membahas dan berbagi ide tentang perkembangan kuliner kota kita tercinta ini. Di tengah pembicaraan hangat kami, kami disela oleh bagian manager dari WKB.
“Gimana makanannya? Sudah pada coba Siomay di sini? Kami rekomen lho menu ini,” said the lady. Gosh! We’re all full already! But, okay. We were going to order this very last menu just to please our curiosity.
Siomay dengan isinya yang berupa tahu putih, sejenis daging bakso kukus 2 potong, telur rebus dan pastinya saus kacang untuk gravy-nya. Pengalaman gue saat masih di Jakarta beberapa tahun lalu saat memakan siomay adalah bumbunya disiram semua ke atas makanannya. Let’s make it different this time. Biar nggak eneg maka bumbunya kami siram sedikit saja, sisanya kalau ada yang mau tinggal dicocol saja.

Yang namanya saus kacang sudah pasti lebih dominan rasa kacangnya daripada rasa manisnya. For me, the sauce is a lil bit clearer than I expected. I prefer a lumpier one, with more peanut than water. Rasanya cukup memuaskan, meski tidak sampai memicu rasa antusias seperti saat makan menu yang lain tadi.
THE MOST IMPORTANT THING (FOR ME) ABOUT THIS PLACE IS:
Gue suka dengan suasananya yang hangat dan nyaman. Make you feel like the Spring is never end here. Untuk sekedar ngumpul-ngumpul seperti yang kami lakukan, duduk bersantai hanya demi menikmati suasana cafe, bekerja dengan gadget atau untuk makan berat, gue rasa suasana seperti ini yang gue butuhkan.

We’re close to the end of this article. There’s a lot more that we wanna share to each other and most importantly to you. Satu demi satu dari foodies-foodies ini mulai berdiri, mendorong kursi ke belakang dan mulai berjalan menuju pintu keluar dengan membawa cerita dan pengalaman masing-masing. Tapi niat kami dihadang oleh dua orang waitress yang ternyata ingin membagikan goodies bag kepada kami—dengan sebotol Coffee Cold Brew di dalamnya. Untuk yang satu ini, nggak akan gue cerita dan harus kamu coba langsung ke WKB.
Such a sweet “Goodbye” and a strong “Come Back Again” message to all of us.

Warung Koffie Batavia
Jalan Kapten Patimura No 342, di dalam gedung Tijili Square, Ground Floor
#halal
Lokasi: https://goo.gl/maps/njmt6k5R7a92
Itu yg di foto buku menu disebelah nama makanan itu harga nya ya..? Kalo iya 65k for nasi kuning is quite expensive.
Sayang sekarang mama tidak mau mencantumkan harga lagi utk per item dish yg dipesan padahal itu penting banget loh buat foodies, layak gak dgn kantong mereka masing masing untuk berkunjung ke tkp ?
wuah kue cubitnya menggoda banget…
Comments are closed.